9 Days Before You Left Me : Part I

Day 1,

Sudah hampir natal. Semua orang sibuk mempersiapkan diri, mendekor seisi rumah, menghias pohon natal, membuat kue sampai menuliskan kartu ucapan natal untuk orang-orang terkasih. tapi pagi ini, Arlene hanya berdiri dan menatap seluruh penjuru kota dari balkon salah satu ruang inap rumah sakit sambil tenggelam dalam pikirannya sendiri. 

Matanya berhenti pada sebuah pohon natal terbesar yang sudah berdiri tegap dengan seluruh hiasan-hiasan di sekujur tubuhnya di taman kota. Ia ingat betul betapa menyenangkannya duduk di bawah pohon tersebut tiap bulan akhir tahun ini sambil bermain salju. Lalu ketika hari natal tiba, ia akan membantu membagikan kado-kado natal pada tiap anak yang baru saja keluar dari gereja usai mengikuti ibadat. Bersama teman-teman sekolahnya, dan tahun lalu ia ditemani Kafka, kekasihnya yang kini sedang terbaring koma di ranjang rumah sakit. 

Sesekali ia memutar balik arah tubuhnya dan melirik ke dalam kamar. Memastikan apakah Kafka tiba-tiba terbangun dan minta diambilkan sesuatu. Meskipun ekspetasinya selalu salah dan Kafka tidak pernah lagi membuka matanya sejak sebulan lalu. Sejak kejadian dimana Kafka menjadi korban dalam tindakan kriminal oleh segerombol remaja tidak dikenal. Kejadian itu jauh dari rumah Arlene, tepat ketika Kafka usai mengantarkan gadis itu dari toko buku. Arlene mendapat informasi itu dari tetangga sebelah rumahnya ketika pulang dari kantornya. 

Dan yang menjadi bagian terburuknya adalah Kafka mendapat luka tusuk di perut dan sebuah pukulan dengan tongkat bisbol di kepala bagian belakangnya ketika Kafka mencoba melawan untuk lari. Arlene hanya bergidik ngeri tiap kali ia membayangkan peristiwa itu setelah mendengarkan penjelasan dari tetangganya. 

Tahun lalu Kafka mengajukan permintaan kado natal dan Arlene mengabulkannya. Tahun ini giliran Arlene dan Arlene hanya ingin laki-laki itu sadar di hari natal. Itu akan menjadi kado natal terindah yang diterimanya. Nama Kafka tidak pernah absen dari doa-doa malam yang melelahkan. Kadang-kadang ia menyerah karena Kafka tidak menunjukkan tanda-tanda akan sadar dari komanya. Kafka terlalu betah dibawah alam sadarnya. Arlene bahkan sempat berpikir bahwa Kafka sudah memiliki kekasih baru di dalam mimpinya yang jauh lebih cantik darinya. Dan pikiran itu sama sekali tidak membantu menghibur kesedihannya selama ini. 

Menyadari bulu kuduknya mulai merinding, Arlene memilih masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon. Kakinya melangkah ke arah tempat tidur Kafka dan terduduk di sebuah kursi di sebelahnya. Matanya tidak berhenti menatap seluruh tubuh Kafka yang tidak menunjukkan adanya pergerakan sama sekali. 

"Tahun ini pohon natal di taman kota lebih cantik dari pohon yang tahun lalu kita hias bersama. Apa kau tidak tergiur untuk melihatnya. Cepatlah sadar dan aku akan menemanimu."

Sebuah perbincangan sederhana ini membuat Arlene merasa tidak akan terlalu jauh dari Kafka. Walaupun Arlene terkesan seperti orang gila karena berbicara sendirian tanpa jawaban dari Kafka. 

"Kau akan mendapat cokelat panas dariku kalau kau bangun sekarang." Tidak ada jawaban lagi. Dan kadang Arlene mulai murka karena terlalu bosan akan situasi ini. 

"Sudah sebulan lebih, Kafka Hodges, dan kau masih belum sadar. Aku hanya ingin tahu apakah kau masih bisa sadar dan kembali padaku atau tidak. Hanya itu." Dan kemudian suara isak tangis terdengar di dalam ruangan itu. Sudah berkali-kali Arlene menangis di ruangan ini tanpa Kafka menyadarinya. 

Hingga pada suatu detik tangan Kafka bergerak di dalam genggaman Arlene. Arlene menghentikan tangisannya. Matanya mengerjap-ngerjap memastikan bahwa pergerakan itu memang berasal dari Kafka. 

"Kafka? Kau sadar? Kau bisa melihatku?" tanya Arlene sambil menggeserkan kedua jarinya di depan mata Kafka, ke kiri dan ke kanan, berulang-ulang. Mata laki-laki itu perlahan terbuka perlahan. Senyum Arlene merekah dan tubuhnya bergerak memeluk tubuh Kafka. Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika doamu dikabulkan hanya dalam satu malam. 

"Siapa kau? Kenapa kau memelukku?"

Sebuah pertanyaan yang keluar secara berbisik dari mulut Kafka mengusik kesenangan Arlene secara tiba-tiba. Spontan, Arlene melepaskan pelukannya.

Comments

Popular posts from this blog

Dance adalah Hidupku

Basketball Never Stop!

Ada Melodi di Balik Kesunyian