Ada Melodi di Balik Kesunyian
Ketika ku dengar suara itu, teringatlah diriku pada sosok yang tak
terlupakan. Sebuah kisah tentang diriku dengannya yang penuh dengan misteri
kehidupan. Pada saat suara itu terdengar menaungi telingaku, senyum manisnya
terlintas dalam pikiranku. Tinggal kenangan yang tertinggal – sebuah piano yang
sering ia mainkan di kala diriku frustasi. Hingga suatu saat, diriku menangis
dan pasrah dengan keadaanku saat ini. Akan tetapi, di balik semua ini ada
sesuatu kejanggalan yang belum terkuak.
Bercengkerama dengan teman adalah pilihan terbaikku saat ini.
Apalagi di pinggiran kota yang tak begitu ramai ini. Sebagai anak rantauan di
pinggiran kota ini, taklah begitu buruk bagiku
dalam menempuh pendidikan sarjanaku. Suasana yang tak begitu ramai ini
membuat diriku terhindar dari macet di jalan. Namaku Melody, perempuan yang
nekat merantau di kota seperti ini. Aku tinggal di kos-kosan yang tak jauh dari
kampusku. Besar harapan orang tuaku menempatkan diriku disini agar dapat menjadi orang yang sukses. Ayah
dan ibuku adalah musisi yang ingin anak-anaknya menjadi musisi yang lebih
sukses dari mereka. Akan tetapi, hanya diriku dalam keluargaku yang tak bisa
bermain alat musik. Bahkan, ku juga tak bisa bernyanyi. Memang namaku Melody,
tapi bukan berarti diriku pintar dalam hal musik. Berkebalikkan denganku, adik
laki-laki ku lah yang pandai dalam hal musik. Berbagai penghargaan
didapatkannya dari lomba-lomba. Tapi, aku selalu sedih mengingat adikku. Diriku
selalu menyangkal peristiwa yang
tak terlupakan yang terjadi pada saat
itu.
Dulu memanng diriku adalah sosok yang paling dekat dengan adikku.
Kami hanya selisih 3 tahun. Lantunan suara piano yang ia mainkan membuat diriku
tenang. Seakan candu yang terngiang-ngiang dalam pikiranku. Apalagi diriku
sulit sekali mengatur emosi. Jika adikku sedang pentas, pastilah diriku yang paling semangat menyemangatinya.
Bahkan, aku pun tak malu ketika diriku berteriak sampai orang di depanku merasa
terganggu.
Jauh hari sebelum ku merantau, kami sekeluarga menonton pentas
adikku. Seperti biasa, diriku selalu menyemangatinya. Akan tetapi, peristiwa di
hari itu adalah peristiwa terakhir kalinya aku melihat adikku jatuh tersungkur
dari pianonya. Ku tak bisa berkata-kata dan gemetar ketika melihatnya. Tangan
dan kakiku berasa sedang diborgol. Entah penyakit apa yang diderita adikku ini.
Ku tak ingin melihat kenyataan sebenarnya pada saat adikku dilarikan ke rumah
sakit. Ku hanya terdiam mengunci kamar dari dalam sambil melihat foto-foto
kenangan bersamanya.
Malam hari merupakan saat terbaik bagiku untuk bersantai di kafe
dekat kampusku. Ku duduk santai ditemani sahabatku, Karen. Karen adalah sahabat
yang selalu mau mendengarkan suka dan
duka cita ku. Hal tersebut yang membuatku selalu nyaman bersamanya. Hariku tak
boleh terlewatkan beigtu saja tanpa nongkrong di kafe ini. Apalagi emosionalku
sedang tidak stabil setelah peristiwa itu terjadi.
Aku dan Karen juga sering berangkat ke kampus bersama. Terkadang
terdengar suara piano dari rumah tua yang kami lewati. Ku hanya mengabaikannya
agar tidak mengungkit peristiwa itu kembali. Tapi semuanya hanya dusta belaka.
Diriku selalu mengingatnya dalam pikiranku.
Hingga seketika aku pulang dari kampus dan membeli nasi bungkus, ku
melihat seorang bocah laki-laki setengah baya berpakaian lesuh dan tampak pucat
pasi kelaparan memandangiku yang membawa nasi bungkus. Karena merasa iba dan
teringat kenangan adik laki-lakiku, aku memberikan nasi bungkusku padanya.
Hingga tiba-tiba Karen memanggilku dari belakang,”Mel, uang kembalian nasi
bungkus yang lo beli belum diambil, nih dia nitip ke gua”. Ku tengok ke
belakang dan berkata,”Oh iya, makasih, Ren”. Ketika ku hendak mengalihkan
pandanganku ke bocah tersebut, ia menghilang begitu saja tanpa menyisakan
jejak. Akhirnya, aku melanjutkan
perjalanan ke kosanku.
Diriku merasakan sesuatu yang mencurigakan dalam
benakku. Seseorang seakan membuntuti ku dari belakang. Ketika ku tengok ke
belakang, seolah-olah orang itu bersembunyi. Maka, aku pun berjalan agak cepat
menuju kosanku. Terdengar kembali suara piano dari rumah tua yang ku lewati. Aku
pun sedikit menengadah ke pintu rumah tua itu. Ku pun terkejut mellihat wajah
bocah laki-laki yang tampak samar-samar mirip adikku sendiri seakan mengintip dari
balik pintu. Tiba-tiba Karen berteriak sambil mendorong ku ke samping,”Awaass
Mel, ada mobil...”. Diriku terdiam kebingungan karena ku tak sama sekali
mendengar suara klakson mobil. Untung diriku tidak apa-apa. Hanya saja Karen
yang hendak menyelamatkanku harus dilarikan ke rumah sakit karena tulang
keringnya retak terlindas mobil.
Satu hari setelah kejadian tersebut, aku menjenguknya ke rumah
sakit. “Maaf ya, Ren..”, kataku penuh duka. Kemudian ia berkata,”Iya gak
apa-apa. Maaf juga kemarin udah ngebuntutin lo dari belakang. Habisnnya gelagat
lo aneh kemarin...”. “Memangnya kenapa?”,
tanyaku kebingungan. Dengan tegas ia berkata, “ Itu loh, kemarin lo
ngomong sendiri pas gua mau ngasih uang kembalian”. Diriku hanya terdiam
berpikir dua kali mengingat kejadian saat itu.
Sepulang dari rumah sakit, ku temui sebuah amplop di atas mejaku
berisikan secarik kertas dan sebuah tuts piano berluluran darah. Tanganku
gemetaran ketika membaca pesan yang disampaikan dari surat tersebut. Di situ
tertulis,”Temui aku di rumah tua yang kemarin kau lihat”. Terpampang dengan
jelas nama adikku sendiri di surat tersebut. Emosiku seakan campur aduk, apakah
ia masih hidup atau hanya lelucon belaka. Di satu sisi, aku ketakutan dan di
lain sisi, aku ingin melihatnya untuk sekian kalinya. Diriku seakan ingin
menghampirinya. Aku pun menyangkal bahwa dirinya telah meninggal.
Untuk meredam emosiku yang semakin tidak stabil, aku pun membeli
obat penenang, meskipun itu terlarang. Satu bulan berlalu, aku memutuskan untuk
mengunjungj rumah tua itu dengan harapan ia masih hidup. Seperti biasa,
terdengar kembali suara piano dari depan rumah tua itu. Masuklah diriku ke
dalam rumah tua itu dengan suara pintu yang berdecit layaknya pintu tua. Di
dalam, aku sama sekali tak mendengar suara piano tersebut. Segalanya sunyi dan
hampa dengan dekorasi rumah kuno biasa yang berdebu seakan tak ada tanda
kehidupan di dalam rumah tersebut. Diriku seakan terhipnotis. Pikiranku
mengambang dan kosong. Mataku tak berkedip sama sekali. Badanku terasa dingin
dan bergerak menuju lantai dua. Tanpa ku sadari, pada saat itu, diriku melompat
dari balkon di lantai dua. Aku pun tak sadarkan diri dan keluarlah darah dari
mulutku. Karen dengan tongkat kaki patahnya yang kebetulan melewati depan rumah
tua itu pun menangis histeris melihat diriku jatuh dari lantai dua rumah tua
tersebut di depan matanya. Aku pun langsung dilarikan ke rumah sakit.
Beberapa hari setelah kejadian tersebut, aku pun setengah terbangun
dari kesadaranku. Dalam benakku, aku berpikir jika aku sudah meninggal. Akan
tetapi, sekarang aku terbaring lumpuh dan koma. Sahabatku dan orang tuaku tampak
menatapku dengan prihatin. Tetapi, aku melihat seorang bocah laki-laki pucat
pasi di antara mereka yang tersenyum. Ku ingin mengucapkan sesuatu, tetapi aku
tak dapat mengutarakannya. Rasa trauma kian menaungi diriku. Ku berpikir
mengapa diriku masih hidup sampai saat ini setelah kejadian aneh menimpaku hari-hari
kemarin. Apakah kejadian pada saat itu hanya halusinasi belaka atau memang
benar-benar sang maut yang menginginkan kematianku. Diriku berpikir berulang
kali bahwa mungkin Tuhan masih memberikan jalan lain yang terbaik bagiku. Semuanya
adalah misteri kehidupan yang sampai saat ini belum ku ketahui dengan pasti.
Oleh : Kevin Setyadi - XI IPA
Comments
Post a Comment